Misteri Hutan Berkabut Ajaib
Libur telah tiba. Anna senang sekali karena kali ini mereka akan berlibur ke rumah Ika, anak Om Seno dan Tante Nila. Rumah Ika terletak di tepi danau yang tenang. Tak jauh dari rumah Ika, ada hutan lebat. Danau itu selalu terlihat berkabut di pagi hari. Begitu pula hutannya. Anna pernah mendengar kabar, hutan berkabut itu misterius.
“Horeee… Kita bisa berenang di danau! Aku juga bisa menyeburkan anak-anak perempuan ke danau. Huahahaha!” teriak Zafran gembira.
Zafran adalah kakak laki-laki Anna. Mereka sering sekali bertengkar. Mereka memang berbeda sifat. Kakaknya ini sangat suka berteriak dan mengganggu ketenangan. Sedangkan Anna lebih suka membaca dengan tenang. Perbedaan mereka seperti A dan Z, seperti inisial nama mereka. Sejujurnya, Anna lebih suka memiliki kakak seperti Elsa yang cantik dan berhati lembut.
“Ayo semua, masuk ke mobil. Sebentar lagi kita jalan,” panggil Bunda.
Anna dan Zafran langsung berlari menuju bangku belakang. Ayah dan Bunda sudah duduk di dalam mobil dan mengenakan sabuk pengamannya. Awalnya mereka semua duduk tenang sambil ngobrol. Lama-lama, Anna dan Zafran bertengkar. Setelah lelah bertengkar, mereka tertidur. Tinggal Ayah yang sedang mengemudikan mobil menuju rumah adiknya itu.
“Ayo bangun anak-anak. Kita sudah tiba di rumah Om Seno,” kata Bunda.
“Annaaa!” seru Ika sambil melompat-lompat.
“Kok, cuma Anna yang disapa? Aku, kan, sepupumu juga,” omel Zafran.
“Selamat datang di rumah kami,” sambut Om Seno pada tamu-tamunya.
“Kalian harus melihat rumah pohonku yang baru,” ajak Ika sambil berjalan menuju tepi danau.
Ika adalah anak tunggal Om Seno dan Tante Nila. Ika sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Hampir semua keinginannya dipenuhi. Mungkin itu sebabnya Ika menjadi anak yang manja. Sebenarnya, Ika diharapkan menjadi anak pertama dengan beberapa adik. Karena itulah di rumah mereka ada banyak kamar. Kamar-kamar kosong itu menjadi kamar Anna dan Zafran selama liburan ini.
“Ayo siniiii… Rumah pohonku ada di tepi hutan,” seru Ika sambil menarik-narik tangan Anna dan Zafran.
“Nanti dulu, Ika. Kami belum menurunkan barang-barang kami,” sahut Zafran dengan gemas.
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah berada di rumah pohon Ika yang baru. Ika memamerkan rumah pohonnya itu dengan bangga. Ika juga mengajak mereka berjalan-jalan ke dalam hutan. Mereka berbincang-bincang dengan riang. Namun, itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba Ika berlari sambil menangis. Zafran, yang telah membuat Ika tersinggung, segera menangkap tangan sepupunya itu.
“Kalian jahat! Huhuhu,” kata Ika di sela isak tangisnya.
“Ika, maafkan aku, ya. Aku tidak bermaksud begitu,” kata Zafran.
“Aku tidak mau punya saudara seperti kalian. Tega sekali padaku. Kalian memang jahat. Huhuhu,” tangis Ika makin menjadi-jadi.
“Ika, maafkan kami, ya,” pinta Anna.
Ika tidak menghiraukan kedua sepupunya itu. Dia meronta-ronta untuk melepaskan tangannya. Dengan secepat kilat, Ika berlari makin jauh ke dalam hutan berkabut.
Ika memamerkan rumah pohonnya dengan bangga kepada kedua sepupunya. Setelah melihat rumah pohon milik Ika, Zafran pun memulai percakapan.
"Ika, kenapa kamu mau membuat rumah pohon di hutan? Menurut cerita yang pernah kubaca, di hutan ini ada seorang nenek tua yang suka memangsa anak-anak terutama anak manja sepertimu," celoteh Zafran.
"Apa maksudmu? Apa kamu menyindirku? Atau kamu iri karena tak mempunyai rumah pohon sepertiku?" balas Ika.
"Untuk apa aku iri? Aku bisa membuat rumah pohon seperti ini tanpa bantuan orang lain," jawab Zafran dengan sengit.
Melihat hal ini, Anna yang dari tadi hanya diam saja segera melerai saudara dan sepupunya yang sepertinya akan memulai pertengkaran.
"Hei, sudahlah. Kalian tidak perlu bertengkar seperti itu," kata Anna.
Tetapi Ika yang sudah terlanjur tersinggung itu lalu mulai menitikkan air mata dan berlari menuju hutan. Zafran dan Anna segera menyusulnya, namun Ika sudah tidak dapat disusul lagi.
“Ayo, Anna. Kita susul Ika. Larinya lebih cepat lagi. Ika sudah tidak kelihatan,” seru Zafran.
“Aku sudah tidak kuat lagi. Huh,” keluh Anna dengan nafas tersengal.
“Bagaimana ini? Ika pasti marah sama kita,” gumam Zafran.
“Hei, lihat itu. Ada rumah. Sepertinya ada orang di rumah itu. Yuk, kita ke sana. Mungkin Ika ke sana,” ujar Anna.
Kedua bersaudara itu pun menuju rumah yang mereka lihat itu. Rumah itu berbahan kayu, letaknya di tepi sungai. Rumah ini tidak sebesar rumah yang ditempati oleh Om Seno dan keluarganya. Namun modelnya mirip. Zafran dan Anna menduga mungkin Ika ke rumah ini.
Mungkin saja rumah itu juga milik Om Seno. Mereka berdua melangkah pelan menuju teras rumah. Zafran mendekati pintu rumah. Sebelum sempat mengetuk pintu, dari dalam rumah itu terdengar suara.
“Mau apa kalian ke sini?” katanya dengan suara berat.
Anna ketakutan mendengar suara itu. Ia menempel di punggung kakaknya. Sementara Zafran terus berjalan mendekat.
“Kami mau mencari sepupu kami. Namanya Ika,” jawab Zafran dengan suara bergetar. Anak yang biasanya tidak kenal takut ini, kali ini merasa gentar.
Pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalamnya keluar seorang bapak. Melihat penampilannya, sepertinya bapak itu cukup mengenal tentang hutan.
“Bagaimana ciri-ciri sepupumu itu?” tanya bapak itu. Kali ini suaranya dengan nada suara ramah.
“Ika, sepupu kami yang tinggal di dekat sini. Tadi ia berlari ke dalam hutan karena marah pada kami. Kami mengejarnya tetapi ia sudah menghilang ke dalam hutan,” kata Zafran menjelaskan.
“Ika memakai rok warna hijau. Rambutnya panjang dan dikepang,” ucap Anna menambahkan.
“Mudah-mudahan sepupumu itu tidak masuk ke dalam hutan berkabut,” gumam bapak itu.
“Memangnya kenapa kalau masuk hutan berkabut?” tanya Zafran penasaran.
“Lebih baik kita cari sepupumu sebelum hari gelap. Yuk, ikuti aku ke hutan,” kilah bapak itu.
Zafran dan Anna mengikuti bapak itu dari belakang. Mereka bertiga bersama-sama masuk ke dalam hutan.
Sambil berjalan, Anna menatap serius bapak itu. Tubuh bapak itu besar tinggi, memakai kaus oblong berwarna hijau, topi anyaman serta celana pendek berwarna hitam. Bapak itu juga membawa sabit dan juga setumpuk rerumputan yang baru saja ia tebas. Tampangnya sih tak terlalu seram, namun melihat sabit yang dibawanya, Anna langsung merinding.
"Kamu kenapa, Na?" bisik Zafran.
"Aku takut, Kak," jawab Anna.
"Tak apa, Anna. Bapak ini sepertinya seorang penjaga hutan ini dan telah lama tinggal di sini. Lihat saja, ia begitu menjaga hutan ini sampai rumput liar pun ia siangi. Dan pasti Bapak ini tahu semua tentang hutan ini," kata Zafran yakin.
"Hei kalian! Cepat sini! Aku mendengar suara anak perempuan tak jauh dari sini," panggil bapak itu.
Anna dan Zafran berjalan lebih cepat. Anna sebenarnya penasaran dengan nama bapak itu sehingga ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Maaf, Pak, dari tadi kita sudah lama berjalan namun Bapak belum memperkenalkan diri," tanya Anna. Selesai bertanya, Anna langsung memejamkan mata karena gugup.
"Hmm, di saat seperti ini kau masih mempertanyakan hal itu rupanya. Baiklah, nama saya Pak Suratno. Saya penjaga hutan di sini. Sedari umur 28 tahun, saya sudah mengabdi pada hutan ini," jawab Pak Suratno.
"Tuh, kan, aku benar," bisik Zafran. Ia tersenyum penuh kemenangan.
"Eh, sepertinya kita sudah sampai di tempat asal suara tadi," ujar Anna.
Sayup-sayup terdengar suara anak perempuan tetapi itu sepertinya bukan suara Ika.
"Tapi, Pak, suara ini sepertinya bukan suara sepupu saya," kata Zafran bingung.
"Itu suara Shasa!" seru “ak Suratno.
"Siapa Shasa?" tanya Anna. Pak Suratno tidak menjawab. Ia segera berlari. Kedua bersaudara itu heran dan segera berlari menyusul Pak Suratno.
“Pak Suratno. Tunggu!” teriak Zafran. Zafran dan Anna terus berlari mengikuti Pak Suratno. Mereka masuk makin jauh ke dalam hutan. Bruk! Zafran menabrak Pak Suratno. Kabut yang semakin tebal membuat Zafran tak melihat Pak Suratno yang berdiri di depannya. Pak Suratno tidak lagi berlari. Ia hanya berdiri diam.
“Dia hilang lagi,” gumam Pak Suratno.
“Ada apa, Pak?” tanya Anna yang baru saja tiba.
“Shasa hilang lagi,” jawab Pak Suratno pendek. Kedua anak itu berebutan berbicara. Mereka ingin tahu siapakah Shasa sebenarnya?
“Baiklah. Bapak tahu kalian pasti penasaran. Bapak akan ceritakan siapa Shasa. Shasa adalah anakku. Dia seumuran denganmu waktu dia hilang di hutan ini,” kata Pak Suratno sambil menunjuk Anna.
“Hilang?” tanya Zafran dan Anna serempak.
“Saat itu, dia bermain ke dalam hutan berkabut ini. Aku sedang melihat-lihat pohon-pohon yang ada di hutan ini. Bapak baru sadar ia tidak ada lagis aat mau pulang. Bapak mencarinya berhari-hari, namun tidak ditemukan. Bapak akhirnya pindah ke tepi hutan ini,” ujar Pak Suratno.
“Hah?” seru Anna ketakutan.
“Menurut cerita rakyat di sekitar sini, hutan berkabut ini adalah hutan ajaib. Siapa saja yang masuk ke dalamnya tanpa izin tidak dapat keluar lagi. Sudah banyak anak yang hilang di hutan ini, tidak hanya Shasa. Kabut di hutan ini kadang-kadang sangat tebal dan berubah menjadi tembok yang tidak bisa dilewati. Konon, ada 3 syarat untuk menembus tembok itu,” kata Pak Suratno.
“Apa saja syaratnya, Pak?" tanya Zafran penasaran.
''Syaratnya, kita harus menunggu bulan purnama, lalu membacakan mantra saat seekor serigala pertama melolong. Mantranya tidak boleh dibaca sekarang. Yang kedua, kita harus mengumpulkan air suci, di sebuah sungai yang tak dapat disentuh. Yang ketiga, kita harus…,” kata-kata Pak Suratno terpotong.
"Apa syaratnya, Pak?" tanya Anna.
“Syarat ini mustahil dilakukan. Kita harus mengumpulkan berlian biru milik Rown, penyihir jahat,” kata Pak Suratno sambil duduk di pohon besar.
“Penyihir itu keji, sudah banyak korban dibuatnya. Setiap ada yang memasuki wilayahnya, tak akan pernah kembali. Meskipun, pernah ada satu yang kembali, tapi, dengan luka di sekujur badannya, lalu, dia meninggal tepat setelah sampai di pondokku. Dia hanya berkata untuk hati-hati karena banyak jebakan. Pondok Rown berada di ujung wilayahnya, dan sangat mustahil mengalahkannya,” jelas Pak Suratno.
“Baiklah. Akan kukalahkan demi Ika dan Shasa!” tekad Zafran.
“Nak, kumohon jangan. Sekarang, mari pastikan kalau Ika tak masuk ke hutan berkabut ajaib itu,” kata Pak Suratno sambil berdiri.
Tak lama kemudian, terdengar suara tangis. Zafran dan Anna yakin kalau itu adalah suara Ika.
“Ika!” panggil Anna saat melihat sosok yang mirip dengan sepupunya itu. Ika yang masih kesal dengan Zafran malah berlari masuk ke dalam hutan berkabut itu.
“Tidaaak!” seru Zafran dan Anna.
“Ika, tunggu!” panggil Anna sambil terus mengejar sepupunya. Samar-samar Anna melihat ada pintu gerbang dan pasukan. Ia melihat Ika ditangkap oleh pasukan itu. Ia juga melihat Ika melemparkan sesuatu.
“Ayo cepat kita susul Ika,” seru Anna.
Tanpa peduli larangan Pak Suratno dan Zafran, Anna terus berlari ke dalam hutan.
Dukkk! Kepala Anna terbentur kabut tebal. Kabut tebal itu telah berubah menjadi tembok tinggi yang kokoh.
“Aduh, kepalaku sakit sekali,” keluh Anna.
“Kabut tebal itu telah menjadi tembok,” ujar Pak Suratno
“Tidak ada cara lain. Kita harus melakukan 3 syarat untuk menembus tembok Hutan Berkabut Ajaib!” tekad Zafran.
“Hei, lihat! Pasti ini benda yang dijatuhkan Ika. Aku tadi melihatnya melemparkan benda ini,” kata Anna.
“Benda ini pasti petunjuk untuk menemukan sepupumu,” sahut Pak Suratno.
Samar-samar Anna melihat ada pintu gerbang dan pasukan. Ia melihat Ika ditangkap oleh pasukan itu. Ia juga melihat Ika melemparkan sesuatu. Benda itu adalah sebuah botol yang didalamnya terdapat gulungan kertas yang lembarannya adalah lembaran kertas kuno. Anna berhasil memecahkan kode sandi yang ada di pesan itu.
ID GNAREBES KODNOP IKAL-IKAL AUT. ADA HANAT GNAY ALIB HUTNESDI NAGNED KUJNULET IRIK NAKA ASARET ADEBREB. STD (Sugingai Maguncagul).--Devso. (PGL ROWN)
“Arghh...Kode-kode apa ini,” kesal Zafran.
Anna memandangi kertas itu dengan serius. Kemudian, ia berseru, “Aku tahu!”
“Di seberang pondok laki-laki tua. Ada tanah yang bila disentuh dengan telunjuk kiri akan terasa berbeda. Itu maksud dari tulisan ini. Kata-katanya dibuat terbalik. Dan, PGL sepetinya singkatan dari pengawal. Sepertinya, petunjuk ini sengaja dibuat untuk kita. Tapi aku tak mengerti Sugingai Maguncugul,” kata Anna panjang lebar.
Zafran dan Pak Suratno terkagum-kagum mendengar penjelasan Anna.
“Sepertinya aku tahu maksudnya. Ayo kita ke pondok Pak Suratno!” seru Zafran bersemangat.
Zafran segera berlari menuju rumah Pak Suratno. Anna dan Pak Suratno mengikuti di belakangnya.
“Zafran, tunggu dulu!” teriak Pak Suratno.
Zafran tak peduli. Ia terus berlari. Sampai akhirnya ia tiba di dekat rumah Pak Suratno. Sejenak Zafran berdiri di depan rumah kayu Pak Suratno. Zafran menajamkan matanya menatap ke seberang. Dengan gerakan mendadak, ia segera berlari ke seberang.
“Zafran, tunggu dulu! Hati-hati. Jangan sampai kamu jatuh ke dalam jebakan Rown,” teriak Pak Suratno lagi.
“Pasti yang dimaksud adalah batu besar itu,” kata Zafran sambil berjalan mendekat.
“Zafran, benar yang Pak Suratno katakan. Kita harus hati-hati,” pinta Anna.
“Apa mungkin maksudnya daun ini? Daun ini bentuknya berbeda dengan yang lainnya,” gumam Zafran.
Zafran mendekat ingin memegang daun yang bentuknya berbeda itu. Pak Suratno tidak tinggal diam. Ia mencoba menarik tangan Zafran namun terlambat. Tangan kiri Zafran menyentuh daun itu dan juga batu besar di belakangnya. Perlahan namun pasti, batu itu menjadi transparan dan dapat ditembus. Zafran dan Pak Suratno jatuh ke dalam lubang.
“Tidaaak!” teiak Anna sambil memegang kaki Pak Suratno.
Tubuh Anna tidak cukup berat untuk menahan berat Pak Suratno dan Zafran. Mereka bertiga terjatuh ke dalam lubang dan akhirnya mendarat ke air.
“Ada di mana kita?” tanya Anna ketakutan.
“Sepertinya ktia berada di sungai bawah tanah. Sungai yang tidak terlihat,” jawab Pak Suratno.
“Kalau sungai ini di dalam tanah, kok, ada cahaya?” sahut Zafran.
“Ayo kita berenang ke sana sebelum hari gelap,” ajak Pak Suratno.
Mereka bertiga berenang menuju cahaya itu. Berkas cahaya itu mengarah ke sebuah batu besar. Cahaya itu makin lama makin redup. Saat mereka mencapai batu besar, hari sudah senja. Cahaya matahari yang berwarna kemerahan perlahan menghilang. Bintang-bintang terlihat di langit. Tak lama kemudian terlihat bulan purnama.
“Brrr… Dingin sekali di sini. Andai saja ada penghangat,” bisik Zafran.
Di sampingnya, Anna duduk sambil memeluk kakinya. Tubuhnya gemetar. Hanya Pak Suratno yang berdiri. Dia menatap ke arah bulan purnama.
“Semoga saja inilah saat yang kita tunggu-tunggu,” gumam Pak Suratno.
“Auuuuuu….,” terdengar suara serigala melolong.
Zafran langsung teringat pada ketiga syarat untuk menolong sepupunya. Syarat pertama yaitu mengucapkan mantra pada saat terdengar lolongan serigala di bulan purnama. Syarat keduanya mengumpulkan air suci di sungai yang tidak kelihatan. Syarat ketiga mengambil berlian biru milik Rown.
“Cepat ucapkan mantranya!” teriak Zafran.
Pak Suratno tidak membuang-buang waktu. Ia segera mengucapkan mantra yang sudah bertahun-tahun dihapalkannya.
Zafran langsung teringat pada ketiga syarat untuk menolong sepupunya. Syarat pertama yaitu mengucapkan mantra pada saat terdengar lolongan serigala di bulan purnama. Syarat keduanya mengumpulkan air suci di sungai yang tidak kelihatan. Syarat ketiga mengambil berlian biru milik Rown.
“Cepat ucapkan mantranya!” teriak Zafran.
Pak Suratno tidak membuang-buang waktu. Ia segera mengucapkan mantra yang sudah bertahun-tahun dihapalkannya, “Wahai hutan berkabut, perlihatkanlah jalan kebenaran yang menuntun orang pada keselamatan!”
Secara ajaib, kabut tersebut menipis. Namun…
“Kok, kabutnya belum hilang?” kata Zafran curiga.
“Ah! Kak, kita, kan, belum memenuhi 2 syarat lagi!” seru Anna.
“Gawat, sepertinya kita akan gagal menyelamatkan sepupumu dan Shasa,” kata Pak Suratno.
Tiba-tiba... Blarr! Kilat menyambar.
“Kyaa!” teriak Anna.
Sekelebat bayangan terlihat.
“Huh! Siapa, tuh?” tanya Zafran pada Pak Suratno.
“I..itu Rown!” kata Pak Suratno gugup. Wajahnya menjadi pucat pasi.
“Bagaimana ini, Kak?” tanya Anna.
“Lari!” teriak Zafran.
“Mau lari ke mana kalian? Kalian mau mengambil berlian biru milikku?” teriak Rown. Suaranya menggelegar.
Dengan gugup, Zafran mengangguk.
“Jangan harap! Kalau kalian mau berlian biruku, lakukanlah permintaanku yang sulit,” bentak Rown.
Dengan berani Zafran berkata, “Apa pun permintaanmu akan kulakukan! Aku tidak mau diam saja tanpa melakukan apa-apa.”
“Ha ha ha… Bagus, anak muda. Kalau berhasil, kamu akan mendapatkan berlianku. Tetapi, kalau tidak… Aku akan menyakiti teman-temanmu!” kata Rown.
Anna menggigil ketakutan mendengar suara Rown. Pak Suratno pun terdiam sambil menunduk. Hanya Zafran yang berani memandang wajah Rown.
“Dengarkan baik-baik, kalian harus menemukan pintu berjaring dan melewatinya…. Ha ha ha… Kalian pasti tidak akan bisa,” seru Rown sambil mengejek.
“Pintu berjaring? Hmmm,” gumam Pak Suratno.
“Kita harus segera menemukannya,” teriak Zafran.
“Tunggu!” panggil Anna dan Pak Suratno.
Sementara itu, Rown sudah menghilang di balik kabut. Sesaat kemudian, sosok Rown muncul di sebuah ruangan besar. Ada banyak anak-anak kecil di ruangan itu. Ika ada di antaranya.
“Hei, kamu!” bentak Rown sambil menunjuk Ika.
Ika yang sedang berbincang dengan anak-anak lainnya langsung terdiam. Dengan wajah ketakutan ia memandang Rown yang menatapnya tajam.
“Lihat, saudara-saudaramu sedang mencarimu. Mereka berusaha mencari berlian biru milikku. Selain itu, masih ada 2 syarat yang harus dilakukan untuk dapat menemukanmu. Sayangnya, mereka tidak akan melakukannya. Ha ha ha,” kata Rown.
“Mereka mencariku? Berarti mereka peduli padaku,” bisik Ika.
Air matanya menetes saat teringat Zafran dan Anna. Ika teringat ia sering ngambek saat bermain dengan kedua sepupunya itu. Ika juga sering merendahkan mereka yang orang tuanya tidak sekaya orang tua Ika. Sekarang Ika menyesal. Kedua sepupunya itu berani menempuh bahaya untuk mencarinya.
“Lihat! Sepupu-sepupumu itu menempuh jalan yang salah. Ha ha ha,” terdengar suara Rown.
Rown segera pergi ke ruangannya yang seperti ruangan yang sudah puluhan tahun tak terpakai. Rown mempunyai sebuah meja tempat menaruh barang-barang yang dia anggap penting seperti buku mantra, pensil ajaib yang bisa menggambar apa saja dan akan menjadi hidup, juga kaca ajaib. Kaca ajaib itulah yang digunakan Rown untuk melihat perjalanan Anna, Zafran dan juga Pak Suratno. Rown segera mengambil kaca itu lalu duduk di kursi cokelatnya.
"Ha ha ha, mereka tidak akan bisa melewati semua jebakanku aku sudah menggambar laba-laba raksasa dengan pensil ajaibku dan akan kupakai untuk menyakiti mereka. Ha ha ha ha," Rown tertawa sangat mengerikan tanpa ia sadari seseorang telah mengetuk pintunya.
Tok! Tok! Rown segera membuka pintunya. Ternyata itu adalah Ika.
"Mau apa kamu?" tanya Rown dengan nada mengerikan.
"A..aku ingin ka..kau jangan menya..kiti sepupuku," jawab Ika dengan tergesa. "Jadi kau mau aku tidak menyakiti sepupumu? Hahahahah, enak saja kau," kata Rown yang mengerikan membuat Ika merinding.
"Pergi kau!!!" Rown menyuruh Ika untuk keluar. Rown lalu menutup pintunya kembali. Sementara di luar, Ika menangis tersedu lalu duduk di sebuah kursi.
"Jangan menangis, Rown memang jahat dan mengunci kita di sini," hibur Shasa, salah satu anak di situ.
"Aku kasihan melihat sepupuku yang sedang mencariku. Rown memang jahat," kata Ika sambil menangis.
Rown mendengar kata mereka lalu keluar, "Seenaknya saja kau bilang aku jahat. Prajurit, bawa dia," perintah Rown kepada seluruh prajuritnya yang juga seorang penyihir.
"Siap," jawab prajurit singkat. Semua anak ketakutan termasuk Ika dan Shasa. Akhirnya mereka sampai di tengah hutan. Prajurit menyuruh Ika dan Shasa untuk duduk.
"Tolong jangan sakiti kami," kata Shasa dan Ika sambil menangis.
"Kami tidak akan menyakitimu. Kami dulu adalah manusia. Kami semua adalah petualang yang pergi ke hutan berkabut ini tapi kami disihir oleh Rown dan menjadi penyihir sekaligus prajurit Rown," salah seorang prajurit menjelaskan dengan panjang lebar.
"Sepupumu akan pergi ke pintu berjaring dan mereka sedang mencarinya jika kalian ingin hutan ini tidak mengerikan lagi, kalian harus melewati pintu berjaring yang terletak di Gua Evel kalian harus melawan pasukan laba-laba dan mengambil berlian biru Rown," tambah seorang prajurit.
"Terima kasih karena membantu kami," kata Ika. Mereka tidak lagi menangis.
"Shasa, kau ingin membantuku mencari sepupuku?" tanya Ika.
"Tentu saja," jawab Shasa sambil tersenyum.
Diam-diam, mereka mengambil kaca ajaib milik Rown. Lewat kaca itu, mereka bisa melihat Zafran, Anna, dan Pak Suratno.
“Itu ayahku,” kata Shasa sambil menunjuk kaca ajaib itu. Samar-samar Shasa mendengar suara ayahnya. Suara itu hilang setelah dia melepaskan kaca itu. Karena penasaran, ia kaca itu lagi. Kembali terdengar suara Pak Suratno.
“Ika, coba sentuh kacanya,” ucap Shasa. Kedua anak itu sama-sama menyentuh kaca. Mereka dapat mendengar percakapan Pak Suratno, Zafran, dan Anna. Ketiga orang yang sedang mencari Ika itu berada di depan pintu berjaring. Itu adalah pintu masuk kek Gua Evel seperti yang disebutkan oleh prajurit. Ika dan Shasa sama-sama menjerit ketika melihat laba-laba besar keluar dari jaring-jaring itu. Laba-laba itu tidak hanya 1, jumlahnya makin lama makin banyak. Shasa segera berlari menemui prajurit yang telah berjanji untuk membantu mereka. “
Prajurit, tolong kami tunjukkan jalan ke Gua Evel,” pinta Shasa. Prajurit itu diam saja. Ia bimbang. Sebenarnya ia ingin menolong kedua anak itu, namun ia takut pada Rown.
“Prajurit, tolong kami,” pinta Ika dengan suara memelas. Ika memohon sampai menitikkan air matanya.
“Baiklah. Aku akan menunjukkan jalannya, tetapi kalian harus ke sana sendiri. Kulihat kalian memegang kaca ajaib itu. Kalian bisa melihat yang tidak bisa dilihat di situ,” kata sang prajurit yang akhirnya luluh. Prajurit itu kemudian mengantarkan mereka melalui lorong-lorong panjang yang berliku-liku. Makin lama, lorong itu makin pengap dan gelap. Apalagi ada banyak sarang laba-laba. Sampai akhirnya terlihat cahaya biru berpendar. Cahaya biru itu berasal dari berlian biru yang indah sekali.
“Lihat, itu pasti berlian biru milik Rown. Kita harus mengambilnya. Itu adalah syarat ketiga untuk dapat menolong kita dan anak-anak lainnya,” kata Ika.
“Toloooong… Toloooong!” terdengar teriakan seorang anak perempuan.
“Itu suara Anna,” kata Ika. Ika segera berlari menuju suara itu.
“Tunggu dulu!” tahan sang prajurit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar